Oleh Abi Sabila
Diam. Itu yang biasa Fulan lakukan bila rekan-rekan kerja
menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan. Lebih baik diam. Sebab
menanggapi pun hanya akan membuat ledekan mereka semakin berkembang.
Belum menikah di usia berkepala tiga, dimana teman seusianya rata-rata
sudah berkeluarga dan mempunyai anak, ada yang dua bahkan ada juga yang
tiga, membuat Fulan sering menjadi bahan ledekan rekan-rekan
sekantornya.
“Bulan Haji sudah lewat, kamu belum juga kawin, Lan?” salah seorang
rekan kerja Fulan membuka obrolan, atau lebih tepatnya ledekan, beberapa
menit sebelum jam makan siang.
“ Boro-boro kawin, punya pacar saja belum,” celetuk rekan kerja
lainnya. “Sudahlah Lan, jangan terlalu pilih-pilih, segeralah kawin.
Hati-hati, kelamaan membujang nanti bisa berkarat!” lanjutnya, yang
disambut dengan gelak tawa rekan kerja lainnya.
Dan seperti biasa, Fulan hanya menanggapinya dengan diam dan senyum.
Tak perlu merasa sakit hati. Cukup sering ia mendengar semacam ini,
seolah-olah tak ada yang lebih menarik bagi mereka selain menjadikan
dirinya sebagai bahan guyonan.
Dan pilihan Fulan memang cukup ampuh untuk tidak membiarkan dirinya
jadi bulan-bulanan. Diam dan atau tersenyum adalah jurus yang tetap akan
ia gunakan selama ledekan dan guyonan yang mereka lontarkan masih dalam
batas kewajaran.
Tapi apa yang terdengar siang itu sungguh tak bisa hanya Fulan
tanggapi dengan diam ataupun tersenyum. Bukan marah, tapi Fulan merasa
perlu meluruskan apa yang baru saja diucapkan salah seorang rekan
kerjanya ketika ia menolak untuk makan siang bersama karena hari itu ia
sedang berpuasa.
“Sudah aku bilang, buruan kawin, biar ada yang masakin. Jadi kamu
tidak puasa melulu!” celetuk salah seorang rekan kerja sambil tertawa.
Dan meskipun guyonannya kali ini tidak di’amin’i rekan kerja lainnya, ia
yang memang paling rajin meledek Fulan merasa guyonannya tak kalah lucu
dari biasanya.
Bukan saja tidak lucu, tapi celetukannya kali ini memancing reaksi Fulan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Maaf! Sebagai laki-laki normal, sayapun ingin menikah. Sungguh! Tapi
mau bagaimana lagi, barangkali Allah belum mengijinkan. Sampai saat ini
Allah belum mempertemukan dengan jodoh saya. Karena itu saya coba
meredam hasrat alami saya dengan berpuasa.” Fulan menjawab dengan
hati-hati. Ia tak ingin justru rekan kerjanya yang jadi tersinggung,
meskipun sebenarnya ia yang lebih pantas tersinggung.
“Biar cepat dapat jodoh?” sahut rekan kerjanya, masih belum menyadari kekeliruannya.
Fulan menjawabnya dengan menggeleng.
“Atau, biar cepat kaya?” rekan kerja Fulan kembali bertanya. Kali ini ia sambil tertawa.
Sambil tersenyum Fulan menjawab. “Bukan, bukan karena itu semua. Saya
berpuasa bukan karena terpaksa sebab tidak ada yang memasak untuk saya.
Meski rasanya tidak enak, insya Allah saya bisa masak sendiri. Atau
kalau saya lagi malas masak, di sekitar kontrakan saya masih banyak
warung nasi. Juga saya berpuasa bukan agar cepat dapat jodoh, apalagi
cepat kaya.”
“Lalu?”
“Saya hanya mengikuti pesan Rosululloh kepada pemuda yang ingin
menikah tapi belum mampu,agar berpuasa karena puasa itu perisai baginya.
Saya sudah siap dan insya Allah mampu untuk berumah tangga, baik secara
fisik, hati maupun materi. Tapi sampai saat ini Allah belum menunjukan
wanita mana yang akan menjadi jodoh saya. Saya bukan pilih-pilih, tapi
memilah dan memilih calon pasangan adalah satu keharusan agar rumah
tangga selamat dunia hingga akhirat.”
“Maaf, kalian tentu lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam hal
ini.” Fulan menambahkan. “Dan selain mengikuti anjuran rosul, tujuan
utama saya berpuasa adalah karena mengharap ridho Allah semata. Mengapa?
Karena ketika Allah ridho dengan kita, apapun yang kita inginkan, kita
butuhkan, akan Allah kabulkan. Insya Allah. Maaf, saya tidak bermaksud
menggurui, saya hanya mengingatkan, terutama diri saya sendiri bahwa
apapun yang saya lakukan semestinya karena Allah semata, bukan karena
kepentingan dunia yang hanya sesaat. Dengan ridho Allah, dunia akhirat
insya Allah selamat. “
Sunyi. Tak ada satupun rekan kerja yang menanggapi, termasuk yang tadi memulai obrolan ini.
“Maaf, Lan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaanmu” akhirnya ia menyadari kesalahannya.
“Sudahlah, fren. Saya tidak tersinggung kok. Silahkan makan
siang, sudah waktunya istirahat.” Jawab Fulan sambil tersenyum. Ia
sengaja memanggil fren untuk mencairkan suasana. Tak ingin Fulan
berlama-lamadalam suasanayang tidak nyaman. Yang terpenting adalah rekan
kerjanya bisa mengambil pelajaran, dan tidak sembarangan memilih
obrolan.
***
Saya sepakat dan sependapat dengan Fulan. Bahwa segala sesuatu yang
kita lakukan semestinya adalah karena Allah semata. Pekerjaan yang sama
belum tentu di mata Allah nilainya sama. Semua tergantung niat ketika
akan melakukannya.
sama-samaberpuasa belum tentu sama-sama bernilai ibadah, tergantung
niatnya. Ketika berpuasa karena terpaksa, tidak ada yang memasak seperti
yang rekan kerja Fulan katakan, ingin cepat kaya, diet dalam rangka
menurunkan beratbadan atau berbagai macam alasan duniawi lainnya, maka
tak ada pahala yang ia dapatkan selain apa yang ia inginkan.
Barangkali dengan berpuasa ia memang bisa berhemat sehingga ia bisa
menabung lebih banyak, lebih cepat kaya karena kaya dalam pandangannya
selalu diukurdengan harta. Atau dengan berpuasa ia bisa menurunkan berat
badannya hingga tercapai berat yang ideal. Itu mungkin-mungkin saja.
Tapi sesungguhnya orang yang seperti ini sangatlah merugi.
Semestinya, kalaupun benar di rumah tidak ada makanan, tidak ada yang
memasak, ingin berhemat, atau ingin memiliki berat badan yang ideal,
tetap niatkan puasa karena Allah semata. Mengharap ridho Allah, bukan
yang lainnya.
Seperti yang Fulan katakan, ketika Allah ridho kepada kita, maka
Allah akan mencukupkan yang kita inginkan, memberikan yang kita
butuhkan. Jangan arahkan yang kita kerjakan untuk kepentingan duniawi
saja, itu tidak bernilai ibadah. Niatkanlah karena Allah, karena dengan
demikian, dunia akhirat tercakup semuanya.
Allah Mahatahu apa yang kita inginkan, kita butuhkan. Mari benahi
niat sebelum melakukan sesuatu. Pastikan karena kita mengharap ridho
Allah semata. Insya Allah.
Sumber: