Tweet |
Oleh Abi Sabila
Aku sedang membaca buku ketika sebuah sms masuk ke handphoneku. Lihat **tv, sekarang!
begitu isi sms yang ternyata dikirim oleh salah satu sahabatku di
Surabaya. Penasaran, segera kuhidupkan televisi dan memilih saluran yang
ia sebutkan. Astaghfirullloh! Ucapku beberapa detik kemudian.
Bukan satu atau dua kali, tapi berkali-kali. Setidaknya dua kali
dalam seminggu, setiap Sabtu dan Minggu, stasiun tv ini menayangkan
berita semacam ini. Kecurangan para pelaku usaha ( bahan ) makanan dan
minuman semakin sering terjadi, membuat miris di hati.
Rekondisi. Selama ini aku mengenal istilah ini hanya untuk
barang-barang elektronik, selain itu tak ada lagi. Tapi hasil
investigasi reporter yang kusaksikan di televisi sore itu mengungkap
fakta bahwa rekondisi bukan saja untuk barang-barang elektronik, tapi
juga pada makanan. Daging rekondisi, begitu istilahnya. Astaghfirulloh!
Andai berkah yang dicari, tak mungkin orang melakukan perniagaan
dengan cara-cara keji semacam ini. Menjual makanan berbahan dasar
‘sampah’, makanan yang sudah tidak layak konsumsi seperti yang terjadi
pada daging rekondisi, hingga bangkai hewan seperti ayam dan berbagai
produk olahannya yang ternyata berasal dari (bangkai ) ayam tiren ( mati kemarin ). Astaghfirulloh!
Bukan berkah yang diutamakan, tetapi jumlah. Menghalalkan segala cara
demi mendapatkan keuntungan yang besar, prinsip ekonomi yang tak
bernurani. Sesungguhnya mereka tiada menipu selain diri sendiri. Bukan
keuntungan yang sebenarnya mereka dapatkan tapi kerugian yang -
sangat-sangat – besar. Mereka mungkin tak melihat sekarang, tapi di
akhirat kelak mereka tak mungkin menutup mata. Segala kecurangan yang
merugikan orang lain akan berbalik kepadanya, tanpa ia sangka sebelumnya
di dunia. Nauzubillah!
Andai berkah yang dicari, tak mungkin mereka – para pelaku usaha
makanan dan minuman - tega mencampurkan bahan-bahan berbahaya seperti
formalin, borax dan zat pewarna pakaian pada produk-produk yang mereka
hasilkan. Tak mungkin berani me reka-reka sampah, ( bahan ) makanan yang
sudah tidak layak konsumsi menjadi produk baru tanpa sedikitpun merasa
perlu bertanggungjawab terhadap segala resiko yang akan dialami
konsumennya.
Selama ini, selalu faktor ekonomi yang dijadikan alasan pembenaran
atas apa yang mereka lakukan. Sulitnya mencari pekerjaan seolah-olah
menjadi dasar halalnya tindakan penipuan. Menghalalkan segala cara demi
mengejar sesuatu yang menurut mereka tinggi dan mulia. Padahal, sesuatu
menjadi mulia itu tak bisa lepas dari niat dan tata cara
mengusahakannya.
Andai berkah yang mereka cari, tak perlu kita khawatir apa yang kita
beli dan konsumsi adalah makanan dan minuman berbahan dasar ‘sampah’,
berpengawet dan pewarna kimia yang berbahaya. Andai berkah yang mereka
cari, tentu tak selalu menjadikan jumlah sebagai yang utama. Andai
berkah yang mereka cari, tentu tak akan mereka berlaku keji semacam ini,
menjual sesuatu yang tak lagi layak konsumsi, seperti daging rekondisi.
Astaghfirulloh!
Sumber:
http://www.abisabila.com
0 komentar: