Tweet |
Tidak salah bila kita belajar tentang kerendahan hati atau tawadhu
kepada Umar bin Al-Khattab. Sungguh, tiada yang menyangsikan kepribadian
beliau yang memukau.
Diriwayatkan pada masa pemerintahannya, beliau mengutus kaum
Muslimin untuk berperang melawan Bangsa Persia. Perang ini terkenal
dengan sebutan perang Qadisiah.
Berkat pertolongan Allah, Kaum Muslimin yang dikomandani oleh Sa’ad
bin Abi Waqqas berhasil memenangkan pertempuran. Sa’ad lalu menulis
sepucuk surat yang mengabarkan kemenangan heroik tersebut kepada Amirul
Mukminin di Madinah. Surat itu dibawa oleh salah seorang mujahid di
antara mereka.
Di penghujung kota Madinah, Umar bertemu dengan Sang Mujahid,
“Hai hamba Allah, ceritakan aku bagaimana keadaan kalian?”
“Sesungguhnya atas bantuan Allah, kaum Musyrikin telah hancur.”
Sang Mujahid sama sekali tidak tahu bila yang menjemputnya itu adalah
Amirul Mukminin. Sebelum itu ia memang tidak pernah melihat wajahnya.
Itulah sebabnya kenapa ia tidak turun dari untanya sampai keduanya masuk
kota. Kaum Muslimin sedikit heran dengan kejadian itu. Mereka lalu
mengucapkan salam kepada Umar. Setelah itu, sang mujahid pun sadar.
“Semoga Allah merahmatimu, kenapa Engkau tidak berterus terang bahwa Engkau adalah Amirul Mukminin” Tanyanya sungkan.
Umar menjawab ringan, “Tak masalah saudaraku.”[1]
Kisah di atas adalah satu dari sekian kisah yang penuh inspirasi dan
kaya hikmah dari seorang Umar bin Al-Khattab. Beliaulah sahabat Nabi SAW
yang paling fenomenal.
Mengingat sebelum Islam betapa kuatnya permusuhan Umar terhadap
dakwah Nabi, namun selepas itu, Umar berubah 180 derajat menjadi pembela
Nabi SAW. Beliau berhasil menebus kekhilafan masa lalu dengan
pencapaian yang gilang-gemilang pada sisa-sisa hidupnya. Itulah
alasannya tokoh yang terkenal dengan julukan Al-Faruq ini dipilih oleh
Michael H. Hart menduduki urutan ke-51 dalam bukunya, Seratus Tokoh yang
Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Kisah yang dikutip dalam Kitab Qobasat min Hayati Ar-Rosul karya
Syaikh Ahmad Muhammad ’Assaf ini sedikit tidak bisa menggambarkan
ketawadhu’an Umar. Jabatan sebagai Amirul Mukminin sedikit pun tak
membuatnya jumawa. Meski daerah kekuasaannya meliputi Hijaz, Syam, Irak,
Persia, hingga Mesir, Umar tetap tawadhu’ bahkan melebihi masa-masa
sebelum menjabat Khalifah.
Umar tetap emoh dinomorsatukan. Beliau enggan dilayani layaknya raja.
Khalifah Islam kedua ini lebih mudah mendatangi dan dijumpai. Seperti
kisah di atas, Khalifah Umar rela berjalan sendiri tanpa kawalan dan
kendaraan menunggu datangnya utusan pembawa kabar. Lebih aneh lagi sang
utusan tak kenal wajah pemimpinnya. Tanpa merasa bersalah, dia tetap di
atas punggung untanya. Umar tidak marah apalagi protes. Utusan itu malah
dianggap saudaranya.
Sosok Umar dengan segenap kepribadiannya menjadi buah bibir di
kalangan rakyatnya. Mereka berhasil disejahterkan olehnya, hingga hampir
setiap orang enggan menerima zakat. Rasanya bukan karena mereka kaya
harta semua, namun Umar berhasil menanamkan kekayaan hati dalam jiwa
rakyatnya. Atas keberhasilan semua itu, Umar tetaplah Umar. Dalam
menjalankan amanah itu, beliau pernah berujar, ”Aku memposisikan diriku
seperti wali bagi anak yatim. Jika aku memmbutuhkan sesuatu, kuambil
sedikit dari harta mereka. Bila aku memiliki gantinya, segera
kukembalikan. Bila aku tidak butuh apa-apa, aku menjaga diri dari
memakainya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya)
Umar bin Khattab sudah lama tiada. Ummat ini sungguh sangat
merindukan sosoknya. Ummat ini hanya bisa bernostalgia dengan Umar lewat
kisah-kisah peninggalannya. Amat sulit berharap pada para pejabat yang
masih ada. Pejabat-pejabat saat ini sulit sekali meng-Umar-kan diri
mereka. Lebih-lebih pada masa yang serba gila saat ini. Gila kehormatan,
gila pujian, gila apresiasi, gila ekspos, gila pencitraan, dan banyak
kegilaan lain. Setiap aksi mereka seolah mengejar rating untuk
mendongkrak popularitas. Siapa tahu kelak bisa terpilih lagi.
Kira-kira hari ini bila ada utusan yang tidak mengenal kepada siapa
dia diutus, sedangkan orang penting itu ada di depan matanya tapi utusan
itu tetap santai, kira-kira bagaimana reaksi orang penting tersebut?
Hampir pasti dia akan marah sambil berkata, ”Kamu tahu tidak saya ini
siapa?” atau ”Kurang ajar kamu.” Berbeda dengan Umar yang sedikitpun tak
mengobral sumpah serapah.
Kita banyak mendengar di tempat-tempat pelayanan umum,
pejabat-pejabat menuntut keistimewaan. Di bandara atau di jalan raya
misalnya, mereka sering protes pada petugas bila ada pemeriksaan ektra.
”Kamu tidak tahu saya ini pejabat ” katanya. Dia merasa risih
diperlakukan layaknya penumpang biasa. Kemana-mana selalu dikawal atau
minta pengawalan. Rumah dinasnya tidak saja berpagar tembok tinggi, tapi
berkawat pula. Akhirnya, selepas menjabat bukan malah makin dekat
dengan rakyat, malah makin jauh bahkan tidak tersentuh.
Para pejabat hari ini banyak yang kehilangan sense of crisis.
Kepeduliannya pada wong cilik tipis sekali. Di saat rakyat dihimpit
kemiskinan, mereka pamer kemewahan. Kemana-mana mengendarai mobil dinas,
walaupun untuk urusan pribadi. Hal inilah yang diharamkan oleh Umar
saat dahulu menjabat Khalifah. tampak sekali asas Aji Mumpung jadi
pedoman keserakahan para pejabat publik hari ini.
Para pemangku jabatan hari ini tengah dininabobokkan dalam servis
yang mereka terima. Berbagai macam fasilitas yang katanya sebagai
penunjang kinerja mereka diperbaharui dengan kualitas pengganti nomor
wahid. Ambil contoh, mobil dinas, komputerisasi di kantor, dan
sebagainya. Ketika ditanya, ”Bukankah ini semua pamer kemewahan?” mereka
dengan enteng menjawab, ”Ini masih wajar” atau ”Ini sesuai dengan
prosedur, selama dianggarkan oleh APBN dan dimanfaatkan, why not!.”
Dengan pemandangan di atas, rakyat tersakiti oleh mereka yang kemarin
menawarkan diri menjadi wakilnya. Seharusnya rakyatlah yang harus
menerima servis yang memuaskann bukan mereka. Rakyat lebih butuh servis
pendidikan murah, servis pelayanan publik yang memuaskan, servis
kesehatan gratis, dan lain-lain. Kepedulian pejabat hari ini seperti
hilang. Ketawadhu’an pun sirna seperti tak bersisa.
Umar bin Al-Khatthab menjelang meninggal pun tetap menampakkan
ketawadhu’annya. Rendah hatinya tetap saja melekat, meskipun pujian itu
benar adanya. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas datang menjenguk beliau di
detik-detik akhir hayatnya, lalu Ibnu Abbas berkata kepadanya, ”Wahai
Amirul Mukminin, engkau masuk Islam ketika orang lain kafir, berjihad
bersama Rasululloh saat beliau ditelantarkan manusia, dibunuh dengan
status syahid, tidak ada dua orang yang berbeda pendapat tentang dirimu,
dan Rasululloh ridha keadamu ketika beliau wafat.” Umar lalu berkata
kepada Ibnu Abbas, ”Coba ulangi perkataanmu.” Ibnu Abbas lalu mengulangi
ucapannya. Umar lalu menimpali, ”Orang tertipu adalah orang yang Anda
tipu. Demi Alloh, andai aku punya kekayaan seisi dunia, aku pasti
menebus kematian dengannya, karena begitu dahsyatnya apa yang akan
terjadi.”[2]
Ketahuilah, kepedulian dan ketawadhu’an itu dibangun atas dasar
keikhlasan. Seseorang ketika diangkat menjadi pejabat, lalu menerimanya
dengan ikhlas tanpa motif pribadi apapun, segala urusannya akan
dimudahkan Allah. Kepedulian dan ketawadhu’an hakiki terasa manis oleh
rakyat. Daripada kepura-puraan, lambat-laun akan terasa pahitnya.
Ketawadhu’an sangat layak dimiliki setiap orang, terutama seorang
pejabat. Mengingat jabatan memang berpotensi melahirkan tinggi hati.
Sesungguhnya Umar telah mewariskan fragem kisah ketawadhuannya. Salah
satu sifat yang melambungkan dan mengharumkan namanya hingga kini. Ya,
hanya dengan tawadhu’, pemimpin bisa dicintai oleh rakyatnya seperti
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab Radhiallohu Ta’ala Anhum.
Catatan Kaki:
[1]. Qobasat min Hayati Ar-Rosul, Syaikh Ahmad Muhammad ’Assaf, hal. 132
[2]. Taujih Ruhiyah Jilid 2, Syaikh Abdul Hamid Al-Bilali, hal. 176Sumber:
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/habib-ziadi-pengajar-ponpes-darul-muhibbin-tawadhu-seperti-umar-ra.htm
2 komentar:
Online Quran School
Thanks for sharing this Ramadan Blog! Click here for more details about Learn Islam