Oleh Maya Retno Ayu Setyautami
Potret 1:
Dalam acara kumpul keluarga besar, di malam hari menjelang tidur, Ney
tetap mengenakan jilbabnya, bahkan tetap berpakaian rapi tanpa
mengurangi apapun yang melekat pada dirinya. Di sisi lain,
saudara-saudaranya, tantenya, budenya, atau kakak adiknya yang juga
memakai jilbab telah membuka jilbabnya dan memakai pakaian siap tidur.
“Kenapa pas mau tidur jilbabnya nggak dibuka, kan disini saudara semua?”
Saudara, tapi kan belum tentu mahram.
Atau pertanyaan lain “Nak, kamu kenapa tetap pakai kaos kaki sih kalau di rumah saudara?”
Hmmm ...
“Hati-hati jangan terlalu fanatik belajar agamanya Mbak”
Potret 2:
Setiap ada tamu mendadak di rumah, atau ketika Ibu meminta bantuan beli
sesuatu di warung, maka Ney selalu butuh waktu sejenak, untuk memakai
rok panjang, jaket, kerudung kaos, dan kaos kaki. Seperti berlebihan,
karena biasanya Ibu hanya menyambar jilbab ketika ke warung, atau bahkan
lupa memakai jilbab ketika menyapu di halaman rumah.
Perkataan Ney ke Ibunya, “Bu, kalau ke depan rumah dipakai jilbabnya.”
“Kan ke depan aja, ga ada siapa-siapa kok.”
“Itu Bu, ada tetangga yang Bapak-bapak.”
“Ah, ga apa-apa itu mah. Beliau juga ga akan ngapa-ngapan.”
Sesekali Ibu Ney yang balik bertanya ketika Ney bersiap merapikan
seluruh pakaiannya sebelum pergi, “Ke warung aja ngapain pake kaos kaki
sih?”
“Kaki kan juga aurat Bu.”
“Aiih, warung kan deket, yang liat juga ga banyak”
Potret 3:
Saat acara pernikahan saudara, Ney mendapat peran sebagai penerima tamu.
Seperti orang-orang lain yang bertugas, Ney juga dibantu oleh seorang
perias dalam mengenakan pakaian dan jilbabnya. Berbagai assesoris
disiapkan, agar jilbab yang dikenakan tetap terlihat modis dan baju yang
dikenakan pun terlihat hiasannya.
“Tante, ini jilbabya saya pakai sendiri ya, nanti tante yang hias bagian atasnya saja,”
pinta Ney sebelum tante perias memakaikan jilbab yang pastinya akan tercekik di bagian leher.
“Oh silahkan mba.. Eh ini kenapa dilapisin jilbabnya?”
“Ini kan tipis jilbabnya tante, saya pakainya panjang menutup dada.”
“Oh, kalau sampai menutup dada sayang nanti hiasan di baju bagian atasnya ga kelihatan”
“Gak papa tante, saya biasa pakai begini...”
Tante perias jilbab pun masih berusaha merapikan jilbab yang telah
dikenakan Ney seperti biasa tanpa hiasan. Beruntung Ney telah
mempersiapkan jilbab lapis sendiri, jilbab lain untuk hiasan dan
perlengkapan lainnya sehingga tante perias tidak banyak protes saat Ney
meminta jilbabnya tetap terulur hingga ke dada.
Masih banyak potret-potret yang lainnya yang kadang memiliki berbagai
pandangan dari orang-orang sekitar. Ketika seorang muslimah yang
berhijab ingin sempurna menutup auratnya, ingin menyeluruh menjalankan
ajaran agamanya, tetapi justru dianggap fanatik. Hal tersebut terjadi
karena pemahaman setiap orang atas ajaran agama ini belum menyeluruh,
sehingga pola pikir yang ditimbulkan pun berbeda.
Padahal setiap aturan islam terangkum jelas, baik dalam Al-Qur’an
maupuh hadis. Selain itu buku-buku Islam yang membahas aturan islam
secara spesifik pun mudah didapatkan di toko-toko buku. Namun sayangnya,
berbagai pengetahuan itu kalah populer dengan perkembangan mode dan
budaya yang ada saat ini, sehingga masyarakat melihat yang benar adalah
yang kebanyakan terlihat di masyarakat, dan yang sedikit itu masuk dalam
kategori fanatik atau berlebihan dalam menjalankan ajaran agama.
Fanatik lebih dekat konotasinya dengan hal yang negatif, sedangkan
kaafah atau menyeluruh diperintahkan oleh Allah melalui Al-Qur’an yang
pasti bermakna positif.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh," (QS. Al-Baqarah: 208).
Pada awal masa peredarannya di Indonesia, jilbab benar-benar
berfungsi sebagai penutup aurat. Bentuknya sederhana dan penggunanya pun
masih sedikit karena pada masa itu pelarangan jilbab masih terjadi di
Indonesia. Jika kita tengok pada masa itu, maka jilbab yang banyak
dikenakan adalah jilbab yang sesuai syariat, menutup dada, tidak
transparan karena kainnya tebal, dan tidak beragam bentuknya.
Jilbab pada masa itu bukan ada karena perkembangan trend dalam
berbusana, tapi jilbab pada masa itu adalah simbol perjuangan. Setelah
jilbab dibebaskan penggunaannya, muslimah yang berjilbab pun semakin
bertambah jumlahnya. Tak ada lagi kekhawatiran mereka tentang
diskriminasi yang ada, karena jilbab telah diterima dengan baik.
Hal tersebut memberi peluang berbagai pihak untuk menggunakan
kreatifitasnya, sehingga model jilbab pun semakin banyak. Saat ini
berbagai model hadir untuk memenuhi kebutuhan muslimah tetapi sayangnya
tidak semua trend jilbab yang ada sesuai dengan syariat Islam. Selain
itu, banyak juga jilbab yang hanya digunakan sebagai busana sehingga
hanya dikenakan saat berpergian jauh, saat acara-acara penting, atau
saat pengajian.
Sementara saat di rumah, ke warung, atau mengantar anak ke sekolah,
dengan santainya tak memakai penutup aurat itu. Seakan jilbab mengalami
pergeseran makna, dari kewajiban sebagai penutup aurat menjadi busana
agar terlihat semakin menarik. Setelah trend jilbab gaul marak, maka
jilbab-jilbab syar’i yang cenderung lebih konservatif pun dianggap
moderat. Jilbab panjang cenderung dianggap tidak modis dan identik
dengan fanatisme.
Pertama, sebenarnya simpel, bahwa tujuan menutup aurat
adalah menghindari terlihatnya bagian tubuh secara langsung ataupun
tidak langsung. Maka, menutup aurat dengan jilbab adalah dengan kain
yang tidak transparan, kain yang menutup hingga ke dada, dan tentunya
tidak ketat agar tak terlihat bentuk tubuhnya. Simpel, tapi terkadang
yang sesimpel itu belum terinternalisasi pada seluruh muslimah.
Kedua, Esensi menutup aurat adalah menutupnya dari
orang-orang yang tidak termasuk dalam mahram. Tidak semua saudara
laki-laki dalam keluarga besar termasuk mahram, misalnya ipar atau
saudara sepupu. Orang-orang yang termasuk mahram tercantum dalam Qur’an
Surat An-Nur:31. Jadi kepada orang-orang selain mahram tersebut, kita
sebagai muslimah wajib menutup aurat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung," (QS. An-Nur:31).
Ketiga, tentang jilbab adalah tentang kewajiban yang sudah
tidak bisa ditawar, maka menjaganya adalah menjaga kehormatan dan izzah
sebagai seorang muslimah. Maka, ketika persoalan jilbab harus
disandingkan dengan persoalan lain seperti pekerjaan, penampilan, atau
eksistensi diri, jilbab harus tetap menjadi perhatian utama.
Bagaimanapun kondisinya, usahakan jilbab syar’i tetap melekat pada diri
kita.
Saat ini, model jilbab yang syar’i tapi tetap modis juga telah banyak
beredar sehingga tak perlu khawatir ketika harus tetap tampil syar’i
saat acara-acara pernikahan atau acara penting lainnya. Bahkan ketika di
luar negeri yang memiliki musim panas, jilbab syar’i tetap
dipertahankan oleh muslimah yang ingin kaafah menjalankan ajaran
agamanya.
“Jagalah Allah, niscaya dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatinya bersamamu,” (HR. Tirmidzi).
Di luar respon negatif seperti pada potret-potret sebelumnya, masih
ada respon positif dari mereka yang jujur dengan ajaran agamaNya. Respon
positif ini tak lepas dari benih-benih pemahaman yang telah ditanamkan
sebelumnya.
Potret 4
Saat menjahit baju untuk sebuah acara pernikahan saudara, Ney tetap
berusaha agar kebaya yang ia kenakan tidak seperti kebaya pada umumnya
yang dibuat pas dengan ukuran tubuh. Maka ia sangat berpesan pada Ibu
penjahit untuk melebarkan ukuran bajunya.
“Bu, ini jahitnya jangan ngepas badan ya, tolong dilebihkan di bagian
pinggangnya.”, pinta Ney pada seorang penjahit yang sedang mengukur
badannya.
“Ooh gitu ya Mba, tapi kalau kebaya kurang bagus kalau lebar,” jawab Ibu penjahit.
“Yang penting ga ngebentuk badan Bu, jadi dilebihin saja di sampingnya.
Untuk panjang ke bawah dibuat sampai lutut juga Bu..." tutur Ney.
“Iya ini Bu, dia ga mau pakai baju yang ngepas-ngepas. Sukanya yang lebar," tambah Ibunda Ney.
“Iya, sih Bu, harusnya yang benar memang begitu kan. Dididik bagaimana sih Bu, ini anaknya bisa salihah begini ...”
Ya, penjahit itu jujur bahwa sejatinya pakaian yang sesuai syariat
tidak ketat dan tidak memperlihatkan lekukan badan. Walau biasanya ia
menjahit sesuai dengan ukuran badan yang pas agar terlihat cantik, tapi
ia tetap mengakui bahwa di luar kecantikan itu ada hal yang lebih
tinggi, aturan syariat agama.
Bukan, yang kita cari memang bukan respon atau tanggapan dari
orang-orang sekitar kita. Karena pandangan manusia tak ada artinya
dibandingkan pandangan Allah. Namun, tentunya menjadi tugas kita untuk
mengajarkan kebaikan pada orang-orang di sekitar kita, agar pemahaman
mereka tentang agama ini tidak setengah-setengah. Agar setiap muslimah
di sekitar kita mengerti bagaimana cara menjaga auratnya dengan sempurna
dan dapat menjaga izzahnya dimanapun mereka berada.
Muslimah salehah, jangan takut dianggap fanatik, jika kita yakin
bahwa yang kita jalani adalah hal yang benar. Muslimah cerdas harus
mengambil langkah yang tepat saat dianggap berlebihan dalam menjalani
ajaran agama, bukan dengan meninggalkan prinsipnya atau bahkan merasa
malu atau minder saat dianggap minoritas, tetapi siap menebarkan
benih-benih pemahaman yang sebenarnya dengan cara yang tepat.
Ketika kita meyakini sesuatu hal, maka kita akan memegangnya dengan
sunguh-sungguh dan pastikan saja hal yang kita pegang saat ini sesuai
dengan dua pedoman utama agama kita, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
*** Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Komputer, Universitas
Indonesia. Saat ini sedang menjalankan amanah sebagai Ketua Bidang I
SALAM UI.
Sumber:
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/maya-retno-ayu-setyautami-jilbab-syar-i-antara-fanatik-dan-kafah.htm