Tweet |
Oleh Dea Tanyo Iskandar
“The best of the Muslims is he from whose hand and tongue the Muslims are safe.”
“Semua amal manusia” ujar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“akan diperiksa setiap hari Kamis dan Senin. Selanjutnya dosa orang yang
tidak melakukan syirik akan diampuni, kecuali seseorang yang antara
dirinya dengan saudaranya sedang ada permusuhan.
Maka dikatakanlah (kepada Malaikat):
“Tundalah ampunan untuk keduanya hingga keduanya berbaikan
kembali! Tundalah ampunan untuk keduanya hingga keduanya berbaikan
kembali!” (HR. Muslim)
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya oleh seorang sahabat, Abu Musa radhiallahu ‘anhu, “Wahai Rasulullah, siapakah Muslim yang paling utama?” lalu Jawab Nabi: “Muslim yang utama adalah muslim yang muslim lainnya terbebas dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhairi Muslim)
Kedua hadist diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak hadist yang
menggambarkan betapa Islam tidak hanya memberi anjuran tentang hubungan
transendental antara manusia dengan Tuhannya (habluminallah), melainkan
juga membina hubungan horizontal yang baik antar manusia dengan manusia
lainnya (habluminannas). Maka berderet kita saksikan berapa banyak
kekata yang keluar dari lisan Rasul yang mulia tentang hal ini.
Beliau begitu mewanti-wanti umatnya agar senantiasa berprilaku
terpuji sekaligus menjaga lisan dengan baik dalam membina hubungan antar
sesama manusia. Sebagaimana yang pernah dikatakan Nabi shalallahu
‘alaihi wassalam: “Jagalah diri kalian dari siksa neraka walau hanya
dengan separuh butir kurma.
Barangsiapa tak menemukannya, maka bershadaqahlah dengan mengeluarkan ucapan yang baik.”Karena ucapan yang baik, kata Rasul, adalah shadaqah “Wal kalimatutuththoyyibatu shodaqoh”. (HR Bukhairi Muslim).
Terkait hal ini, ada yang menarik pada potongan surat Ali Imran ayat
159, tentang bagaimana menjaga hubungan dengan sesama. Pada ayat
tersebut Allah Subhana wa ta’ala berfirman: “…sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu”. Dalam karya masterpiecenya-Riyadush Shalihin, Imam Nawawi
meletakkan ayat ini sebagai pembuka salah satu sub-bab tentang ‘Hak-Hak
Kaum Muslimin’. Lalu apa yang menarik?
Ayat tersebut ternyata senada dengan konsep psikologi kontemporer
yang dibangun oleh Zig Ziglar, seorang pakar motivasi internasional.
Menurut Ziglar, penulis buku best seller See You at The Top, bahwa orang
lain tak peduli dengan seberapa banyak pengetahuan yang kita miliki,
mereka lebih peduli pada seberapa banyak perhatian yang kita berikan
untuk mereka.
Zig Ziglar benar. Bahwa rahasia untuk membuat orang menyukai kita
adalah dengan memperlihatkan betapa kita menyukai dan memberi perhatian
untuk mereka. Kita bersimpati sekaligus berkomunikasi dengan tulus
melalui lisan dan hati kita. Persis dengan yang termaktub dalam surat
Ali Imran : 159.
Sebuah analogi menarik terkait hal ini juga saya dapatkan dari buku
The Magic of Talking, karya Leil Lowndes, bahwa tubuh kita menurut
Lowndes, adalah umpama sebuah mesin penembak yang melesatkan sepuluh
ribu peluru stimulus setiap detiknya, dan sangat memungkinkan beberapa
tembakan meleset dan menghasilkan perasaan malu atau permusuhan
tersembunyi. Sehingga kita perlu teknik untuk memastikan setiap tembakan
mengarah dengan benar ke jantung hati setiap subjek sasaran kita.
Memang benar, ada masa-masa dimana membina hubungan dengan orang lain
tak semudah membolak-balikan telapak tangan. Banyak benturan atau
goresan yang mencederai perjalanannya.
Namun alih-alih menjadi sebuah masalah, seorang muslim yang baik,
melihat hal itu sebagai sebuah tantangan. Atau bahkan sebuah karunia.
Karunia untuk belajar kesabaran sekaligus karunia untuk memantapkan
keimanan.
Maka seorang muslim yang benar sadar betul, bahwa “lisan” adalah aset
muslim yang paling penting dalam menyulam benang-benang habluminannas.
Aset itulah yang kemudian akan membawa manusia menuju satu diantara dua
kemungkinan: menghirup indahnya Jannah, atau sebaliknya menanggung
perihnya neraka.
Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadist:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda: “Sungguh adakalanya sesorang berkata-kata yang Allah
ridhai, yang tidak ia hiraukan sebelumnya (apakah baik atau tidak)
sehingga Allah pun meninggikan derajatnya.
Sungguh adakalnya seseorang mengeluarkan kata-kata yang Allah murkai,
yang tidak ia hiraukan sebelumnya (apakah baik atau tidak), sehingga
Allah pun memasukkannya ke neraka Jahannam”. Maka “barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir” ujar Nabi dalam kesempatan lain, ”hendaklah
berkata yang baik atau diam”. (HR. Bukhairi Muslim)
Oleh karena itu bagi seorang muslim berkata-berkata bukan hanya
perkara bicara semata, tapi juga bagaimana menjaga agar kata-kata yang
keluar adalah kata-kata yang memberi kebermanfaatan sekaligus
keselamatan.
Menjaga lisan memang tak mudah. Maka hadiah yang menanti bagi para
penjaga lisan juga tak sederhana. Allah, melalui janji Rasul-Nya, akan
membalasnya dengan jaminan pahala akhirat: surga.
“Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang ada diantara kedua
rahangnya (lisan) serta apa yang ada diantara kedua kakinya
(kemaluannya) dengan baik, aku jamin baginya surga”. (HR. Bukhairi Muslim)
Ya Allah, jadikan kami golongan hamba-Mu yang senantiasa bertutur
kata yang baik, kemudian Engkau jadikan kami buah tutur yang baik pula
bagi generasi penerus kami. Agar Kau jadikan kami sebaik-baik muslim.
Agar Kau jadikan kami bagian dari golongan yang memeroleh rahmat,
ampunan dan surga-Mu. Amin.
Sumber:
http://www.eramuslim.com/oase-iman/dea-tanyo-iskandar-muslim-excellent-1-antara-lisan-dan-surga.htm
http://www.eramuslim.com/oase-iman/dea-tanyo-iskandar-muslim-excellent-1-antara-lisan-dan-surga.htm
0 komentar: