Tweet |
Oleh Muchamad Syihabulhaq
Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia
berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul
buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga
melelahkannya.
Ketika orang Syam itu melihat laki-laki yang berpenampilan biasa dan
tampak dari golongan orang tak punya, ia berpikir hendak menyuruh
laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas sesampainya
di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil lelaki tersebut, dan Si
lelaki mendekat.
Orang Syam itu berkata kepadanya, “Tolong bawakan barangku ini.” Maka
Si lelaki mengangkat barang yang disuruh oleh orang Syam, dan mereka
berdua berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Si
Lelaki berpenampilan biasa itu mengucapkan salam kepada rombongan,
mereka berhenti dan menjawab salam, “Kesejahteraan juga untuk walikota.”
Orang Syam yang bersama Si lelaki bertanya dalam hatinya, “Juga kepada
walikota? Siapa yang mereka maksud?” Keheranannya semakin bertambah
ketika beberapa orang dari rombongan bergegas mendekat dan berkata,
“Biarkan kami yang membawanya.”
Barulah orang Syam itu sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah
seorang walikota Madain. Orang Syam itu pun menjadi gugup, kata-kata
penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat
hendak mengambil beban yang di bawa Si lelaki suruhannya, tetapi Sang
walikota menolak dan berkata, “Tidak, biar kuantar sampai rumahmu.”
Sepenggal kisah ini adalah cuplikan dari sebagian sirah perjalanan
kehidupan seorang sahabat Rasulullah saw yang sangat terkenal di dalam
pencariannya terhadap kebenaran. Siapakah walikota yang berpenampilan
biasa dan tampak dari golongan orang tak punya tersebut?
Dialah Salman Al-Farisi seorang sahabat Rasulullah yang rela
meninggalkan negerinya dan mengalami perjuangan berat demi mencari
kebenaran. Kisah sahabat yang mulia ini di dalam pencariannya terhadap
suatu kebenaran sudah tidak asing lagi di telinga para aktivis dakwah,
bahkan sering sekali kisahnya ini dijadikan taujih pembangkit semangat
untuk para aktivis dakwah di dalam menempuh jalan panjang ini.
Sahabat yang mulia ini tak kalah zuhudnya dibandingkan sahabat
Rasulullah lainnya di dalam menjalani kehidupannya. Karena beliau sadar
betul, bagaimana kesederhanaan itu sangat berpengaruh di dalam dakwah
ilallah, sehingga hatinya selalu teringat akan pesan Rasulullah
kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh
dunia dan tidak mengambil dunia kecuali, sekedar bekal seorang musafir.
Ternyata inilah yang telah mengisi hati seorang Salman Al-Farisi,
sehingga ia tidak mau mendekati kekayaan dan jabatan.
Sekalipun ia menerima jabatan sebagai walikota Madain pada saat itu,
apakah kehidupannya dan karakternya berubah? Tidak, sama sekali tidak
ada yang berubah di dalam kehidupannya dan karakternya. Ia sama seperti
yang biasa para sahabat Rasulullah lihat sebagai Salman yang memiliki
penampilan sederhana, sesederhana penampilannya sebelum diangkat sebagai
walikota.
Bahkan ia sampai disangka kuli oleh seseorang yang berasal dari Syam,
karena melihat Salman berpenampilan biasa dan tampak dari golongan
orang tak punya, karenanya orang Syam itu tak segan-segannya menyuruh
membawakan barang-barangnya kepada sahabat Rasulullah yang mulia ini,
yang ternyata dia adalah seorang walikota. Sahabat yang mulia ini
seketika identitasnya sebagai walikota diketahui oleh orang Syam yang
menyuruhnya, ia menolak untuk barang yang sudah ia bawakannya di ambil
kembali oleh orang Syam tersebut, namun apa yang dikatakan sahabat yang
mulia ini kepada orang Syam tersebut, ketika ia mendekat hendak
mengambil barang bawaannya yang dibawakan oleh walikota Madain itu? Ia
berkata, “Tidak, biar kuantarkan barang bawaanmu sampai pada rumahmu.”
Betapa mulianya sahabat Rasulullah ini, kesederhanaannya mengalahkan
ambisi akan kenikmatan dunia. Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya
sampai lutut. Padahal saat itu ia orang yang dihormati dan disegani.
Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit: antara 4.000-6.000 dinar
setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak sedikit pun ia ambil untuk
kepentingan dirinya. Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia tidak
mau menerima tunjangan yang diberikan secara halal?
Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa Hasan pernah mengatakan bahwa
tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun. Namun demikian, ketika
dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju luarnya (aba’ah)
ia jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi badannya.
Tunjangan hidup yang ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis, sedangkan
untuk nafkah keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.
Wahai para pengikut Muhammad SAW.!
Wahai para aktivis dakwah!
Wahai para pemimpin muslim!
Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
Bukankah Rasulullah mengajarkan kesederhanaan di dalam perjuangan ini?
Bukankah Sahabat Rasulullah yang mulia ini sudah kita membacanya di dalam sirahnya?
Bukankah Salman Al-Farisi seorang walikota Madain sudah mencontohkan kesederhanaan di dalam perjuangan dakwah ini?
Ketika mendengar kehidupan generasi sahabat yang amat bersahaja
seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya, sebagian kita menyangka
bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab saat itu, karakter
hidup yang bersahaja. Istighfarlah jika ada berprasangka seperti ini.
Akan tetapi, sepenggal kisah ini adalah kisah seorang sahabat
Rasulullah yang ia adalah seorang putra Persia. Suatu negeri yang
terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan dari
golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak
kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa
cukup dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya?
Satu dirham itu pun ia peroleh dari hasil jeri payahnya sendiri.
Dengarkanlah perkataannya jikalau hati ini masih ragu, “Aku membeli
daun kurma seharga satu dirham. Daun itu kubuat keranjang. Kemudian
kujual dengan harga tiga dirham. Satu dirham kugunakan untuk modal
usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham lagi untuk
sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. melarangku berbuat demikian, aku
tidak mau menghentikannya.”
Selayaknya kita sebagai aktivis dakwah harus mencontoh dan meneladani
kesederhanan para sahabat Rasulullah di dalam perjuangan ini, sebab
fitnah itu muncul bisa jadi karena kita berlebih-lebihan di dalam
memperjuangkan dakwah ini dan dalam menyikapi nikmat kehidupan dunia
yang diberikan Allah untuk kita.
Rasulullah dan para sahabatnya mencontohkan kesederhaanan dalam
menyikapi nikmat kehidupan di dunia agar menjauhkan diri serta menjaga
dari fitnah-fitnah yang senantiasa ada di setiap kehidupan para pejuang
dakwah di dalam meneggakan panji-panji Islam di seluruh belahan dunia,
karena musuh yang kita hadapi sekarang adalah para syaithan yang
berwujud manusia yang memiliki sistem, strategi dan teknologi yang kuat
dan canggih.
Ingatlah ketika sahabat yang mulia ini, Salman menjawab pertanyaan
Sa’ad bin Abi Waqqash saat ia menjenguk sahabatnya yang mulia ini
terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum ajal menjemputnya, sesaat
sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha
Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya.
Tiba-tiba Salman menangis.
“Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. wafat, beliau ridha kepadamu?”
Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati atau mengharap
kemewahan dunia. Rasulullah saw telah menyampaikan suatu pesan kepada
kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal
seorang musafir.” Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak di
sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu aku berkata
kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu
kami ingat.”
Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika membagi.”
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air
(hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya
tanaman-tanaman bumi karena air itu; di antaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya
mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya
adzab Kami pada waktu malam dan siang, lalu Kami jadikan
(tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit,
seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (QS.
Yunus [10]: 24)
Wallahu a’lam bishshowwab
Muchamad Syihabulhaq
(Mahasiswa UNPAD)
0 komentar: