Belajar dari Siti Hajar, Ibunda Nabi Isma’il AS

Kalimat tawakkal (dalam berbagai bentuknya) beberapa kali disebut dalam  al-Qur'an. Dan menariknya lagi, kata ini selalu dipakai dalam pernyataan  yang indah. Maksud indah disini adalah ungkapan yang tidak berkaitan dengan ancaman-ancaman Allah Subhanahu wa ta'ala. Jadi kalau tawakkal disebut maka disana disebut juga masalah rizki yang banyak, karakter orang yang beriman dan lain sebagainya. Kaitannya dengan tawakkal, maka al-Qur'an pun juga menuturkan tentang kisah refleksi hidup orang-orang yang tawakkal. Sangat menarik dan  menakjubkan. Sampai-sampai sikap ketawakkalan mereka diabadikan dalam al-Qur'an. Salah satu darinya adalah kisah tawakkalnya Hajar, ibunda Nabi Isma'il Alaihi salam.

Kisah ini berawal dari perjalanan Nabi Ibrahim as yang hendak meninggakan salah salah satu istri dan anaknya di sebuah lembah yang gersang, kering kerontang. Tempat itu yang hari ini lebih dikenal dengan nama Makkah. Makkah saat itu tentu tidak seramai hari ini. Disana tak ada kehidupan. Tak ada orang. Tak ada tanaman. Tak ada mata air. Kalaupun ada barangkali adalah binatang buas padang pasir. Nabi Ibarahim sendiri sadar betul dengan apa yang dilakukannya kepada anak dan istrinya. Dan ia juga paham betul di tempat seperti apa ia hendak meninggalkan mereka. Diantara munajat Nabi Ibrahim sebelum meninggalkan anak dan istrinya adalah:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan keturunanku di  lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati" (QS. Ibrahim: 37).

Sebagai seorang istri, yang harus mengasuh anaknya yang masih sangat  kecil sendirian, di tempat yang sangat asing bahkan ganas, tentunya wajar saja jika ketika itu Hajar sempat bimbang. Hingga akhirnya, ia putuskan untuk bertanya kepada suaminya,

"Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini semua?"

"Iya!" jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan mensia-siakan kita!" sambut Hajar dengan mantap dan yakin.

Ungkapan terakhir seorang Hajar inilah yang hendak kita jadikan inspirasi dalam sikap tawakkal. Ini adalah kalimat yang agung yang penuh makna dan bertenaga. Menariknya lagi, kalimat ini terucap dari lisan seorang wanita dalam segala keterbatasan kondisinya. Intinya hanyalah satu, jika suatu perkara memang telah menjadi perintah Allah yang harus ia ta'ati, maka pasti akan berujung pada kebaikan dan keberkahan yang melimpah, pasti akan berujung pada keajaiban-keajaiban hidup yang luar biasa. Sekalipun secara logika tidak masuk. Sekalipun secara hitung-hitungan manusia terkesan mustahil.

Namun perintah Allah tetaplah perintah yang harus dilaksanakan. Masalah nanti yang terjadi bagaimana itu urusan Allah. Urusan seorang hamba hanyalah 'sendiko dawuh' dan melaksanakan segala titah-Nya. Dan sikap tawakkal Hajar ternyata tidaklah sia-sia. Anak keturunannya menjadi kabilah nomor wahid di Arab. Lembah Makkah berubah menjadi tempat persinggahan para bisnisman dan saudagar. Kota yang dulunya sepi, tak ada apa-apa selain hamparan padang pasir yang kejam kini berubah menjadi ramai dan pusat perhatian ummat manusia, khususnya ummat Islam sampai hari ini. Lebih dari itu semua, Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan salah satu dari keturunannya menjadi pemimpin sekaligus penutup para nabi dan rasul. Dialah nabi akhir zaman, Muhammad bin Abdullah Shallalahu alaihi wa sallam.

Itu semua merupakan keberkahan sikap tawakkal seorang Hajar, istri Nabi Ibrahim Alaihi salam.

Sumber:
http://eramuslim.com/berita-belajar-dari-siti-hajar-ibunda-nabi-isma%E2%80%99il-as.html