Tawadhu’ Seperti Umar Ra



Bulan suci Ramadhan yang lalu sesuai artinya yaitu membakar, dan ini jangan dianggap hanya membakar dosa saja, tetapi juga membakar egoisme, mau menang sendiri, tinggi hati, atau sikap-sikap tercela lainnya pada diri kita. Selepas itu, pakailah pakaian ketawadhuan,ketaqwaan, dan respek pada sesama.

Tidak salah bila kita belajar tentang kerendahan hati atau tawadhu kepada Umar bin Al-Khattab. Sungguh, tiada yang menyangsikan kepribadian beliau yang memukau.

Diriwayatkan pada masa pemerintahannya, beliau  mengutus kaum Muslimin untuk berperang melawan Bangsa Persia. Perang ini terkenal dengan sebutan perang Qadisiah.

Berkat pertolongan Allah, Kaum Muslimin yang dikomandani oleh Sa’ad bin Abi Waqqas berhasil memenangkan pertempuran. Sa’ad lalu menulis sepucuk surat yang mengabarkan kemenangan heroik tersebut kepada Amirul Mukminin di Madinah. Surat itu dibawa oleh salah seorang mujahid di antara mereka. 

Di penghujung kota Madinah, Umar bertemu dengan Sang Mujahid,
“Hai hamba Allah, ceritakan aku bagaimana keadaan kalian?”
“Sesungguhnya atas bantuan Allah, kaum Musyrikin telah hancur.”

Sang Mujahid sama sekali tidak tahu bila yang menjemputnya itu adalah Amirul Mukminin. Sebelum itu ia memang tidak pernah melihat wajahnya. Itulah sebabnya kenapa ia tidak turun dari untanya sampai keduanya masuk kota. Kaum Muslimin sedikit heran dengan kejadian itu. Mereka lalu mengucapkan salam kepada Umar. Setelah itu, sang mujahid pun sadar.

“Semoga Allah merahmatimu, kenapa Engkau tidak berterus terang bahwa Engkau adalah Amirul Mukminin” Tanyanya sungkan.

Umar menjawab ringan, “Tak masalah saudaraku.”[1]
Kisah di atas adalah satu dari sekian kisah yang penuh inspirasi dan kaya hikmah dari seorang Umar bin Al-Khattab. Beliaulah sahabat Nabi SAW yang paling fenomenal.

Mengingat sebelum Islam betapa kuatnya permusuhan Umar terhadap dakwah Nabi, namun selepas itu, Umar berubah 180 derajat menjadi pembela Nabi SAW. Beliau berhasil menebus kekhilafan masa lalu dengan pencapaian yang gilang-gemilang pada sisa-sisa hidupnya. Itulah alasannya tokoh yang terkenal dengan julukan Al-Faruq ini dipilih oleh Michael H. Hart menduduki urutan ke-51 dalam bukunya, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. 

Kisah yang dikutip dalam Kitab Qobasat min Hayati Ar-Rosul karya Syaikh Ahmad Muhammad ’Assaf ini sedikit tidak bisa menggambarkan ketawadhu’an Umar. Jabatan sebagai Amirul Mukminin sedikit pun tak membuatnya jumawa. Meski daerah kekuasaannya meliputi Hijaz, Syam, Irak, Persia, hingga Mesir, Umar tetap tawadhu’ bahkan melebihi masa-masa sebelum menjabat Khalifah. 

Umar tetap emoh dinomorsatukan. Beliau enggan dilayani layaknya raja. Khalifah Islam kedua ini lebih mudah mendatangi dan dijumpai. Seperti kisah di atas, Khalifah Umar rela berjalan sendiri tanpa kawalan dan kendaraan menunggu datangnya utusan pembawa kabar. Lebih aneh lagi sang utusan tak kenal wajah pemimpinnya. Tanpa merasa bersalah, dia tetap di atas punggung untanya. Umar tidak marah apalagi protes. Utusan itu malah dianggap saudaranya. 

Sosok Umar dengan segenap kepribadiannya menjadi buah bibir di kalangan rakyatnya. Mereka berhasil disejahterkan olehnya, hingga hampir setiap orang enggan menerima zakat. Rasanya bukan karena mereka kaya harta semua, namun Umar berhasil menanamkan kekayaan hati dalam jiwa rakyatnya. Atas keberhasilan semua itu, Umar tetaplah Umar. Dalam menjalankan amanah itu, beliau pernah berujar, ”Aku memposisikan diriku seperti wali bagi anak yatim. Jika aku memmbutuhkan sesuatu, kuambil sedikit dari harta mereka. Bila aku memiliki gantinya, segera kukembalikan. Bila aku tidak butuh apa-apa, aku menjaga diri dari memakainya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya)  

Umar bin Khattab sudah lama tiada. Ummat ini sungguh sangat merindukan sosoknya. Ummat ini hanya bisa bernostalgia dengan Umar lewat kisah-kisah peninggalannya. Amat sulit berharap pada para pejabat yang masih ada. Pejabat-pejabat saat ini sulit sekali meng-Umar-kan diri mereka. Lebih-lebih pada masa yang serba gila saat ini. Gila kehormatan, gila pujian, gila apresiasi, gila ekspos, gila pencitraan, dan banyak kegilaan lain. Setiap aksi mereka seolah mengejar rating untuk mendongkrak popularitas. Siapa tahu kelak bisa terpilih lagi. 

Kira-kira hari ini bila ada utusan yang tidak mengenal kepada siapa dia diutus, sedangkan orang penting itu ada di depan matanya tapi utusan itu tetap santai, kira-kira bagaimana reaksi orang penting tersebut? Hampir pasti dia akan marah sambil berkata, ”Kamu tahu tidak saya ini siapa?” atau ”Kurang ajar kamu.” Berbeda dengan Umar yang sedikitpun tak mengobral sumpah serapah. 

Kita banyak mendengar di tempat-tempat pelayanan umum, pejabat-pejabat menuntut keistimewaan. Di bandara atau di jalan raya misalnya, mereka sering protes pada petugas bila ada pemeriksaan ektra. ”Kamu tidak tahu saya ini pejabat ” katanya. Dia merasa risih diperlakukan layaknya penumpang biasa. Kemana-mana selalu dikawal atau minta pengawalan. Rumah dinasnya tidak saja berpagar tembok tinggi, tapi berkawat pula. Akhirnya, selepas menjabat bukan malah makin dekat dengan rakyat, malah makin jauh bahkan tidak tersentuh. 

Para pejabat hari ini banyak yang kehilangan sense of crisis. Kepeduliannya pada wong cilik tipis sekali. Di saat rakyat dihimpit kemiskinan, mereka pamer kemewahan. Kemana-mana mengendarai mobil dinas, walaupun untuk urusan pribadi. Hal inilah yang diharamkan oleh Umar saat dahulu menjabat Khalifah. tampak sekali asas Aji Mumpung jadi pedoman keserakahan para pejabat publik hari ini.   

Para pemangku jabatan hari ini tengah dininabobokkan dalam servis yang mereka terima. Berbagai macam fasilitas yang katanya sebagai penunjang kinerja mereka diperbaharui dengan kualitas pengganti nomor wahid. Ambil contoh, mobil dinas, komputerisasi di kantor, dan sebagainya. Ketika ditanya, ”Bukankah ini semua pamer kemewahan?” mereka dengan enteng menjawab, ”Ini masih wajar” atau ”Ini sesuai dengan prosedur, selama dianggarkan oleh APBN dan dimanfaatkan, why not!.”

Dengan pemandangan di atas, rakyat tersakiti oleh mereka yang kemarin menawarkan diri menjadi wakilnya. Seharusnya rakyatlah yang harus menerima servis yang memuaskann bukan mereka. Rakyat lebih butuh servis pendidikan murah, servis pelayanan publik yang memuaskan, servis kesehatan gratis, dan lain-lain. Kepedulian pejabat hari ini seperti hilang. Ketawadhu’an pun sirna seperti tak bersisa.

Umar bin Al-Khatthab menjelang meninggal pun tetap menampakkan ketawadhu’annya. Rendah hatinya tetap saja melekat, meskipun pujian itu benar adanya. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas datang menjenguk beliau di detik-detik akhir hayatnya, lalu Ibnu Abbas berkata kepadanya, ”Wahai Amirul Mukminin, engkau masuk Islam ketika orang lain kafir, berjihad bersama Rasululloh saat beliau ditelantarkan manusia, dibunuh dengan status syahid, tidak ada dua orang yang berbeda pendapat tentang dirimu, dan Rasululloh ridha keadamu ketika beliau wafat.” Umar lalu berkata kepada Ibnu Abbas, ”Coba ulangi perkataanmu.” Ibnu Abbas lalu mengulangi ucapannya. Umar lalu menimpali, ”Orang tertipu adalah orang yang Anda tipu. Demi Alloh, andai aku punya kekayaan seisi dunia, aku pasti menebus kematian dengannya, karena begitu dahsyatnya apa yang akan terjadi.”[2]

Ketahuilah, kepedulian dan ketawadhu’an itu dibangun atas dasar keikhlasan. Seseorang ketika diangkat menjadi pejabat, lalu menerimanya dengan ikhlas tanpa motif pribadi apapun, segala urusannya akan dimudahkan Allah. Kepedulian dan ketawadhu’an hakiki terasa manis oleh rakyat. Daripada kepura-puraan, lambat-laun akan terasa pahitnya. 

Ketawadhu’an sangat layak dimiliki setiap orang, terutama seorang pejabat. Mengingat jabatan memang berpotensi melahirkan tinggi hati. Sesungguhnya Umar telah mewariskan fragem kisah ketawadhuannya. Salah satu sifat yang melambungkan dan mengharumkan namanya hingga kini. Ya, hanya dengan tawadhu’, pemimpin bisa dicintai oleh rakyatnya seperti Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab Radhiallohu Ta’ala Anhum. 


Catatan Kaki:
[1]. Qobasat min Hayati Ar-Rosul, Syaikh Ahmad Muhammad ’Assaf, hal. 132 [2]. Taujih Ruhiyah Jilid 2, Syaikh Abdul Hamid Al-Bilali, hal. 176


Sumber:
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/habib-ziadi-pengajar-ponpes-darul-muhibbin-tawadhu-seperti-umar-ra.htm