Tweet |
Oleh Aizzah Nur, Mahasiswa dan Karyawan
Ketika menulis catatan ini saya adalah seorang remaja yang berada
dalam masa peralihannya menjadi seorang wanita dewasa, sedang
menuntaskan tugas akhirnya di sebuah perguruan tinggi swasta kelas
karyawan dan tinggal selangkah lagi menjadi sarjana, seorang wanita yang
berada pada masa gemilangnya dalam meniti karir, bekerja di tempat yang
baik dengan penghasilan yang sangat baik, anak perempuan yang
membanggakan, kakak yang walaupun tidak terang-terangan dinantikan
tetapi selalu dirindukan dan menjadi panutan, sahabat yang hangat, teman
yang menyenangkan, rekan kerja yang walaupun sering datang terlambat
tetapi selalu dimaafkan karena rajin membawa makanan. Entah semua itu
benar adanya atau tidak, yang jelas saya selalu percaya pada insting dan
bagaimana cara hati membawa saya untuk merasa.
Sepintas, semua yang saya miliki, kehidupan saya yang nyaris begitu
sempurna, adalah apa yang sebagian perempuan zaman sekarang impikan.
Karir, pendidikan, keluarga, teman. Saya amat sangat bersyukur dengan
keadaan saya. Semua yang Allah titipkan pada saya sekarang adalah apa
yang dahulu pernah saya cita-citakan. Alhamdulillah... Allah memberikan
kesempatan untuk merasakan dan membimbing bagaimana harus menyikapi
begitu banyak cita-cita yang terlaksana menjadi nyata ini dengan baik
dan bijaksana. Saya jadi teringat kutipan dari seorang ustazah,
“Muslimah yang berjuang dalam kebaikan adalah mereka yang selalu to be continued... berkelanjutan dan terus menerus....”
Kemudian saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan sederhana... “Apa cita-cita saya berikutnya?”
Di sinilah, di usia saya yang masih belum genap dua puluh dua tahun,
saya merasa jadi lebih tua karena sepertiga partisi dari otak saya
didominasi sesuatu yang sedang saya pertimbangkan untuk menjadi
cita-cita saya di masa yang akan datang. Menjadi seorang ibu rumah
tangga saja. Sederhana. Sepertinya mudah, tetapi entah dari sudut
pandang mana saya menilainya, sekedar membayangkannya saja sulit sekali
rasanya. Padahal pada hakikatnya, rumah tangga adalah ladang pahala yang
sangat luas bagi seorang wanita.
Semuanya tidak lagi membanggakan ketika untuk memiliki cita-cita
menjadi ibu rumah tangga biasa dan seutuhnya mengabdikan diri kepada
keluarga saja, saya butuh waktu yang cukup lama untuk menimbang, malah
bimbang, bahkan gamang.
Pelan-pelan mimpi itu bergumul dalam pikiran saya ...
Menyediakan bekal untuk suami tercinta, memberikan rumah yang bersih
dan nyaman sepulangnya, pakaian yang bersih, wangi, dan tersetrika rapi,
betapa membahagiakannya bila saya bisa mengerjakannya sendiri, tanpa
bergantung pada si 'Mbak'. Sungguh saya tidak bisa membayangkan
bagaimana saya akan cemburu jika suami lebih menyukai dan menikmati
masakan si "Mbak".
Menjaga calon buah hati kami, membekalinya dengan gizi dan pendidikan
yang baik bahkan jauh sebelum kelahirannya, mengenalkannya pada
rangkaian hijaiyah, membacakannya cerita, mengobrol dengannya, ikut
membangunkannya di waktu subuh.
Saya tidak ingin kehilangan momen-momen penting dalam sembilan bulan
itu. Tidak ingin menyia-nyiakan dan membiarkannya berlalu begitu saja
karena kesibukan saya bekerja. Saya tidak ingin hanya disibukkan
mempersiapkan popok, baju, dan alas tidurnya. Saya ingin sibuk
mempersiapkan kesiapannya menjadi seorang manusia.
Dan ketika Allah mengizinkan ia lahir ke dunia,
Betapa tidak inginnya cuti tiga bulan yang diberikan perusahaan
kepada saya membatasi kebahagiaan saya. Saya tidak ingin rutinitas
menyusuinya, memandikan, mengganti popoknya, berlangsung rutin hanya
dalam tiga bulan saja. Saya tidak ingin kehilangan 8 jam dalam sehari
dengan tidak melihat ia tumbuh besar dan pintar. Saya tidak ingin
kehilangan menyaksikan langkah pertamanya.
Namun dengan intensitas yang sama, kekhawatiran yang lain juga hadir menyertainya ...
Bagaimana jika kelak saya berjodoh dengan seseorang yang biasa saja?
Bukan mereka yang berpenghasilan “wah” tiap bulannya? Biaya perlengkapan
anak, susu, dan pendidikan zaman sekarang kan mahal? Lantas bagaimana
dengan kehidupan sosial yang saya tinggal di luar sana? Lantas bagaimana
jika (Naudzubillahi Min Dzaalika) suami yang saya tercinta berpulang ke
rahmatullah di waktu yang tidak saya duga sebelumnya, sedangkan saya
harus menggantikannya sebagai kepala keluarga?
No Execuse!! Allah telah menentukan dan mengatur jodoh, rezeki, dan
maut bagi tiap-tiap kita. Banyak cara untuk mengupayakan rezeki yang
disebar-Nya di seluruh muka bumi ini. Niat yang baik akan beriring
dengan hasil yang baik Insya Allah. Rumah adalah sekolah dan madrasah
paling murah bagi anak-anak kita, dan baik tidaknya kualitas pendidikan
yang mereka terima itu bergantung pada kita, orang tua mereka. Maka
bersemangatlah, Allah menghadirkan masalah berpasangan dengan solusinya.
Pasti.
Semoga Allah memberikan kemantapan hati jika cita-cita itu bukan sesuatu yang salah
Menjadikannya tidak sebatas pada keinginan, tetapi juga kebutuhan
Semoga Allah memperkenankan cita-cita sederhana saya menjadi nyata..
Meridainya dan menjadikannya jalan terbaik yang dipilihkan-Nya untuk saya
Memberi kemudahan bagi kami untuk melalui aral-melintangnya
Percaya bahwa Allah akan menjaga dan memelihara apa yang menjadi kepunyaan-Nya
Percaya bahwa berkarya menjemput rezeki-Nya bisa dimana saja
Percaya bahwa tidak ada sandaran hidup yang lebih baik selain AllahSumber:
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/aizzah-nur-mahasiswa-dan-karyawan-merenda-sebuah-cita-cita-sederhana.htm
0 komentar: