Tweet |
Oleh SusWoyo
Syarief Nur Kholish, 10 bulan, ahirnya harus masuk ke rumah sakit juga. Sebenarnya aku tidak menginginkan anakku masuk ke rumah sakit, jika upaya pengobatan yang telah kulakukan berhasil menyembuhkan penyakitnya.
Terbayang dimataku, bahwa betapa susahnya orang masuk ke rumah sakit.
Apalagi bagi “wong cilik” alias kaum duafa semacam aku ini. Karena
sudah dipastikan harus masuk ruangan kelas paling rendah, kelas
pemegang Jamkesmas.
Tiga tahun lalu, Rizkon Nur Zakky, kakaknya Syarief, juga masuk ke
rumah sakit dengan penyakit yang hampir sama dengan adiknya ini, yaitu
diare. Aku sekeluarga tentunya sangat berterima kasih kepada pemerintah
waktu itu, karena semua pengobatan gratis. Tetapi yang paling terbayang
dimataku adalah suasana ruangan yang “luar biasa”.
Ukuran ruangan rumah sakit waktu itu adalah 6 X 6 meter, dihuni oleh
8 pasien. Jika yang ada di ruangan itu adalah satu pasien dan satu
penuggu saja, rasanya sudah sangat sesak. Apalagi jika waktu besuk tiba,
ruangan itu seolah mendadak berubah menjadi pasar saat mejelang
lebaran. Sangat ramai, dan aroma ruangan tersebut berubah menjadi tidak
enak. Bayangkan, bercampurnya bau obat dengan bau keringat. Menjadi bau
apa?
Dan sekarang inipun tidak berbeda jauh dengan beberapa waktu lalu.
Kondisinya masih seperti dulu. Dan saat aku melintasi ruang paviliun,
suasananya sangat jauh berbeda. Pasien begitu nyaman dan tak terganggu
oleh pasien lain, apalagi oleh keluarga yang besuk. Sangat nyaman,
karena satu kamar satu pasien.
Sudahlah! Barangkali memang harus dibedakan. Dan yang paling
mencolok dari perbedaaan it,u adalah kelas ekonomi. Jadi, siapapun yang
punya uang, pilihlah ruangan yang nyaman semaunya. Tetapi sebaliknya,
bagi yang tidak mempunyai uang alias miskin, bersyukurlah dengan ruanga
apapun yang disediakan. Termasuk ruangan yang tanpa AC dan kipas angin
serta jika malam hari nyamuk dengan santainya menggigit para pasien.
Ternyata negeri yang kaya raya ini, belum bisa memberikan jaminan
kesehatan kepada warga negaranya, dengan sama rata. Artinya, masih harus
ada pemisah, antara si kaya dan si miskin. Kita tentunya harus
bersama-sama berjuang, untuk berproses yang tiada henti, supaya negeri
ini menjadi toyyibatun warobbun ghofur. Sehingga dengan izin Allah SWT
siapapun yang sakit mendapat pelayanan pengobatan yang sama.
Malam itu istriku sempat mengeluh, ”Aku tidak bisa istirahat, karena kalau aku tidur, maka nyamuk-nyamuk itu akan dengan lahap menggigit anakku. Harus beli obat nyamuk, pak.”
Aku tersenyum mendengar istriku mengomentari kenyataan ini. Aku tidak bisa mengelak. Aku menjadi ingat beberapa hari yang lalu, saat besuk tetanggaku, yang orang kaya. Betapa nyamannya kamar yang dihuni. Ruangan yang luas. AC yang terus menyala, sehingga tak mungkin ada satupun nyamuk yang berani masuk. Televisi yang siap dihidupkan, kapanpun dibutuhkan. Suasananya sangat hening.
“Sudahlah! Tidak usah mencari-cari obat lain. Sudah terlalu banyak obat
yang kita usahakan. Dari obat tradisional sampai obat yang modern. Obat
kita tinggal obat yang sejati, yaitu sabar dan shalat.”
Kataku mengutip kalimat yang sering diutarakan para ulama kepada umat,
saat memberi semangat kepada orang yang sedang diuji oleh Allah dengan
berbagai macam kesusahan dan kesedihan.
Sumber:
http://www.eramuslim.com/oase-iman/suswoyo-obat-itu-bernama-sabar-dan-shalat.htm
http://www.eramuslim.com/oase-iman/suswoyo-obat-itu-bernama-sabar-dan-shalat.htm
0 komentar: