Tweet |
Oleh Abi Sabila
Hasan, bocah lima tahun yang baru duduk di kelas TK, merasa
heran dengan kebiasaan Bundanya, mengumpulkan uang pecahan seribu, lima
ribu dan sepuluh ribuan. Uang-uang itu disimpan di sela-sela buku, di
halaman yang terpisah. Tidak seperti kebiasaan Bunda menyimpan uang,
buku tersebut sepertinya sengaja Bunda simpan di tempat yang mudah untuk
mengambilnya sewatku-waktu. Karena penasaran, Hasan pun bertanya.
“Bunda, untuk apa uang-uang itu? Kok, dipisah-pisah?”
“Ini untuk bekal kita di akhirat, sayang!” jawab Bunda sambil sekali
lagi memastikan jumlah uang di tangannya. Tiga puluh satu lembar pecahan
seribu, empat lembar pecahan lima ribu dan dua lembar pecahan sepuluh
ribu. Pas. Bunda terlihat lega.
“Bekal di Akhirat? Memangnya kapan kita ke Akhirat, Bunda?”
Belum sempat Bunda menjawab, dengan polos Hasan kembali bertanya.
“Akhirat itu di dekat Mekkah ya, Bunda?”
Mendengar pertanyaan sang buah hati, Bunda tersenyum. Anaknya memang
kritis, sekaligus menggemaskan. Bunda meraih putra tunggalnya,
mendudukan di pangkuannya dan mencium kepalanya dengan penuh kasih
sayang. Harum wangi shampoo balita tercium dari rambut sang bocah yang
masih agak basah.
“Sayang…Akhirat itu bukan dekat Mekkah. Akhirat itu tidak di dunia
ini. Alam Akhirat itu akan kita jumpai setelah kita mati.” Bunda mencoba
memberi penjelasan yang bisa dipahami oleh bocah lima tahun itu.
“Kata Pak Ustadz, orang mati nda mbawa bekal apa-apa selain amal,
Bunda! Untuk apa Bunda nyiapin uang-uang ini?” Hasan memprotes, menuntut
penjelasan yang lebih bisa ia pahami.
“Betul sayang. Yang dibawa orang meninggal hanyalah amal. Seluruh
harta, keluarga dan juga jabatan ia tinggalkan. Dan uang-uang ini tidak
akan kita bawa kecuali setelah kita sedekahkan. Pahala dari sedekah
inilah yang akan kita jadikan bekal nantinya.”
Hasan terlihat antusias mendengarkan penjelasan Bunda. Perlahan ia
turun dari pangkuan Bundanya. Ia duduk tepat di sebelah Bunda, menunggu
penjelasan berikutnya.
“Sebenarnya ini ide Ayah, sayang. Berawal dari membaca sebuah
tulisan, Ayah kemudian mengajak Bunda untuk mempraktekan, menyisihkan
sebagian dari rezeki yang Ayah dapatkan untuk diberikan kepada mereka
yang hidupnya kurang beruntung.”
“Jadi Bunda memisah-misahkan uang ini untuk disedekahkan?” Hasan mulai paham. Kedua matanya terlihat berbinar-binar.
“Betul! Sebelum Bunda membagi-bagi uang yang Ayah berikan, Ayah
selalu mengingatkan agar selain memisahkan anggaran untuk kita makan,
bayar sekolah, bayar listrik, beli pulsa, dan lain-lain, termasuk juga
uang jajan kamu, Bunda juga harus menyiapkan anggaran untuk kita
sedekahkan. Mengikuti contoh yang diberikan dalam tulisan itu, Ayah dan
Bunda sepakat untuk memisahkan uang-uang ini untuk sedekah harian,
mingguan dan bulanan. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi setidaknya
Ayah dan Bunda belajar untuk membiasakan bersedekah, setiap hari.”
“Aku nda pernah lihat ada orang minta-minta datang ke rumah kita, Bunda?”
“Ya, mungkin saja. Kamu sekarang kan sudah sekolah, jadi tidak tahu
kalau ada peminta datang ke sini. Atau, kalaupun kamu di rumah, mungkin
mereka datang saat kamu sedang tidur. Tapi yang jelas, Ayah dan Bunda
berusaha untuk membiasakan bersedekah. Bisa kepada pengemis yang datang
ke rumah, pengamen ataupun anak jalanan yang Bunda temui di jalan saat
akan dan dari pasar atau mengantar jemput kamu ke sekolah.”
“Uang ini diberikan kepada mereka semua, Bunda?”
“Ya, tapi tidak sekaligus. Kan tadi Bunda sudah bilang, ada anggaran untuk sedekah harian, biasanya Bunda berikan kepada orang yang pertama kali datang atau Bunda temui di jalan. Kemudian sedekah mingguan,
ini kalau kita sedang mengikuti pengajian setiap Minggu pagi. Biasanya
Bunda atau Ayah akan memberi sedekah kepada lebih dari satu orang. Kamu
ingat kan, banyak orang yang tidak memiliki penghasilan tetap yang
memanfaatkan pengajian untuk mencari penghasilan. Tapi kita tidak perlu
mempermasalahkan, bagaimanapun itu ladang amal buat kita. Dan yang
terakhir, anggaran sedekah bulanan biasanya Ayah atau Bunda
serahkan kepada majelis taklim atau mushola, tergantung kira-kira mana
yang lebih membutuhkan. Atau kadang juga Ayah dan Bunda membaginya sama,
untuk majelis taklim dan juga mushola” panjang lebar Bunda menjelaskan.
Dari matanya yang berbinar, Bunda yakin buah hatinya bisa menerima
penjelasannya.
“Kalau misal dalam sehari ada dua pengemis datang, bagaimana Bunda?”
bocah kecil nan mengemaskan itu kembali bertanya, tanpa Bunda duga
sebelumnya.
“Kalau ada, Bunda kasih dua-duanya. Terkadang dalam sehari tidak ada
pengemis yang datang. Juga Bunda tidak pergi ke pasar sementara kamu
berangkat sekolah ikut Ayah, jadi uang hari ini dikumpulkan untuk hari
berikutnya. Ketika ada dua orang atau lebih yang Bunda temui, uang itu
Bunda berikan. Tapi kalau Bunda sedang tidak ada uang receh, sementara
ada peminta yang datang lagi, Bunda akan bilang baik-baik, minta maaf.
Tapi setidaknya untuk hari itu kita sudah bersedekah. Selagi belum bisa
menambah jumlah yang akan disedekahkan, minimal kita berusaha untuk
istiqomah bersedekah.”
“Kata Pak Ustadz, kalau kita rajin bersedekah rejeki kita akan bertambah ya, Bunda?”
“Ya, betul! Bertambah jumlahnya, terutama juga barokahnya. Amin, insha Allah!”
“Kapan-kapan, aku saja yang ngasih sedekahnya ya, Bunda?” pinta Hasan. Kedua matanya berbinar, terlihat bersemangat.
“Insha Allah!” jawab Bunda sambil kembali memeluk dan mencium buah hatinya dengan penuh kasih sayang.
Sumber:
www.abisabila.com
http://www.eramuslim.com/oase-iman/abi-sabila-membiasakan-bersedekah.htm
0 komentar: